Jumat, 30 November 2018

Untuk Pertama Kali

    
      Untuk pertama kali, ini terjadi dalam keluarga kecil kami setelah menikah dan memiliki buah hati. Saya, istri dan si kecil Onesimus akhirnya harus tidur terpisah. Sejak Selasa istri harus berangkat ke Jakarta bersama Disperindag dan pengurus Dekranasda Sulut untuk mengikuti pameran, sementara saya harus mengikuti Bimtek oleh Disperindag dilanjutkan dengan acara Learn X oleh Bekraf selama 3 hari berturut, sedangkan anak kami harus tidur dengan omanya, Sedih rasanya.
     Yang terbiasa tidur sambil peluk-pelukan pasti tahu bagaimana rasanya ketika kali pertama tidur tanpa ada yang memeluk atau dipeluk (bantal guling tidak bisa menggantikan hehehe).




Selasa, 17 Juni 2014

Kebahagiaan dalam Segelas Air Putih

Kantor kami bisa dikatakan tak pernah sepi dari tamu. Senantiasa ada tamu yang datang entah tamu kenalan kami atau tamu asing yang belum kami kenal.

Pagi ini, seorang pria setengah baya datang. Saya belum mengenal laki-laki ini, namun beberapa kawan saya mengenalnya sebagai seorang koster (pengurus rumah tangga) salah satu gereja denominasi kami (Mennonite) di Semarang. Agaknya dia membawa pesan untuk menyerahkan persembahan dari gerejanya kepada Sinode kami.

Beliau menunggu lama karena bagian keuangan kami harus membuka beberapa amplop persembahan berisi uang dengan nominal berbeda-beda dan mencatatnya dalam lembaran Tanda Terima untuk dapat kembali diberikan kepada si Bapak.

Cukup lama si Bapak menunggu dan saya amati agak gelisah. Mungkin karena tidak ada sesuatu yang dia kerjakan selama menunggu Tanda Terima jadi.

Hati saya tergelitik untuk mengambil segelas air mineral dan memberikannya kepada si Bapak. Ketika saya mempersilahkannya untuk minum, sedikit terlihat senyum di bibirnya (yang cukup tertutup dengan kumisnya yang tebal hehehe) sembari mengucapkan terima kasih kepada saya. Ada sebuah perasaan lega yang terbang yang saya rasakan.

Saya ingat di bulan April tahun ini (2014), saya membonceng Jupri (koster kami di Sinode) mengantar surat ke 6 gereja kami di wilayah Semarang. Saya sangat excited karena ada beberapa gereja yang belum pernah saya kunjungi. Jadi meski udara terik, saya sangat bersemangat.

Setelah tiga gereja kami kunjungi, rasa haus mulai tak tertahan karena matahari semakin terik. Di gereja keempat saya berharap ada yang menawarkan minum kepada kami. Namun meski sempat terjadi obrolan sebentar, bukan hanya sekedar menyerahkan surat, tak jua ada tawaran minum. Saya tidak menyalahkan mereka, mungkin mereka tengah sibuk dengan pekerjaan rutin dan terbiasa dengan tamu yang datang dan pergi. Akhirnya dalam perjalanan selanjutnya, saya tidak dapat menahan diri untuk mampir ke sebuah toko membeli minuman.

Pengalaman tersebut membuat saya semakin menghargai keberadaan tamu, entah saya kenal atau tidak. Mungkin saja si Bapak yang datang bertamu ini memang merasa haus dan berharap hal yang sama yang dulu pernah saya rasakan. Mungkin Kantor kami bukan satu-satunya tujuan tugas luar-nya. Menempatkan diri saya di posisinya membuat saya dengan sukacita memberikan segelas air putih (andai ada makanan pendamping juga akan saya tawarkan).

Si Bapak masih menunggu di depan meja Staf Keuangan kami ketika saya beranjak ke toilet untuk pipis. And you know what? Perasaan aneh kembali terbang ketika saya keluar dari toilet dan melihat si Bapak naik di atas sepeda motornya, sambil mengenakan helm dia berujar, "Terima kasih mbak." Saya semula menebak si Bapak hanya akan tersenyum dan menganggukkan kepala tanda permisi pulang, atau berkata, "Mari mbak." Namun yang terjadi adalah dia mengucapkan rasa terima kasihnya.

Secara logika kamilah yang seharusnya mengucapkan terima kasih karena dia sudah mengantarkan uang persembahan gereja kepada Sinode kami. Maka kesimpulan saya (semoga memang demikian adanya), dia berterima kasih atas segelas air yang saya berikan.

Ah rasanya ingin terus mengulang merasakan perasaan aneh yang terbang membumbung ketika melakukan sesuatu bagi orang lain, meski sesuatu yang teramat kecil dan terkesan sepele. Saya yakin Anda mengetahui perasaan aneh itu apa, dan saya yakin Anda pernah merasakannya atau justru sering merasakannya? Apakah Anda setuju dengan saya atau tidak, tapi perasaan aneh ini terasa sebagai candu bagi yang menghendakinya, dan saya memutuskan untuk menginginkannya lagi dan lagi. Bagaimana dengan Anda?



Sompok Lama, di sela waktu berkirim email, 17 Juni 2014












Jumat, 25 April 2014

PAYUNG dan keSABARan



“Sediakan payung sebelum hujan,” dan 
“Belajar sabar menghadapi masalah.”
Membaca penggalan ungkapan di atas sepertinya tidak ada hubungan sama sekali antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya. Pun dengan judul dari tulisan ini. Para pembaca hanya perlu sedikit bersabar sambil terus membaca sampai tuntas dan biarkan penulis melanjutkan untuk menjadikan kedua ungkapan maupun judul tulisan ini menjadi berhubungan.

Semula foto di samping sengaja diambil untuk sekedar iseng dan seru-seruan saja. Sebenarnya si pemilik payung  sekaligus yang menjadi fotografernya menolak untuk mengabadikan pose tersebut. Sebagai kekasih mungkin ada rasa malu seandainya ada teman yang sempat melihat foto ini. Nanti dianggap kekasihnya kok kayak gitu?

Benar juga. Setelah sempat berencana untuk mem-posting foto tersebut ke media sosial, niat tersebut akhirnya dibatalkan. Terbayang apa yang ada di imajinasi teman-teman.  Dalam pikiran penulis jangan-jangan  akan memunculkan bermacam komentar. “Kok pacarnya kemayu?” atau “Inilah perempuan setengah pria!” atau (maaf kata) bencong, banci, bencess. Atau teman yang lain bertanya, “Kerja di salon mana, jeng?” dan komentar-komentar lainnya yang bernada mengejek maupun yang sekedar untuk bercanda.

Payung tersebut bukan hanya dijadikan sebagai pelengkap untuk sesi foto tetapi benar-benar digunakan sesuai peruntukannya. Anda yang sudah punya pengalaman menyusuri jalan setapak dari tempat parkir menuju stupa paling puncak di Candi Borobudur pasti tahu bagaimana rasanya berjalan kaki di bawah terik matahari apalagi pas jam 12 siang. Dan payung itulah yang membantu aku dan kekasihku bisa terlindung dari sengatan sinar matahari. Hal  yang bertolak belakang terjadi saat kami mulai menuruni tangga meninggalkan Candi Borobudur dan menyusuri jalan setapak sambil diguyur hujan deras. Tetapi payung yang sama pula yang pada akhirnya bisa melindungi kepala dan sebagian tubuh kami dari siraman air hujan, dan menjadikan hari itu sebagai kenangan tak terlupakan. Berjalan berdua di bawah payung di tengah hujan deras. Betapa romantisnya sore itu.. hehehehehe

Pada akhirnya gambar tersebut menjadi berguna untuk menjelaskan sesuatu sehubungan dengan fenomena alam yang tidak menentu sekarang ini. Hari ini matahari begitu terik dari pagi sampai siang, membuatku berkeringat walaupun di dalam rumah. Sebagian dari teman-teman mulai mengeluh lewat postingan fb soal panasnya siang ini. Teman  lainpun mengeluh soal hujan deras di tempatnya. Dalam keadaan suhu udara yang semakin panas disertai langit yang mulai mendung, berangsur-angsur hujan turun dengan derasnya. Teman-teman yang tadinya mengeluh soal panas tidak kelihatan lagi postingan-nya untuk mengungkapkan rasa syukur akan turunnya hujan. Sementara dari tempat lain masih ada juga yang mengeluh soal panas terik.
Sahabat, saudara, kerabat dan teman-teman dimanapun Anda berada, kita semua mempunyai masalah yang sama dalam hal cuaca. Panas di tempatku mungkin saja hujan di tempatmu. Atau sebaliknya, hujan di tempatku mungkin saja panas di tempatmu. Dari sisi manakah kita bereaksi? Apakah kita hanya mengeluh ataukah kita bersyukur apapun cuaca hari ini?

Dalam kehidupan ini, hujan ataupun panas sering dikaitkan dengan masalah atau persoalan hidup. Hujan gerimis saja kadang kita jadikan alasan untuk bersungut-sungut, alasan untuk batal melakukan sesuatu atau sering kita jadikan alasan untuk membatalkan pergi ke suatu tempat yang telah direncanakan. Kadang masalah yang ringan kita pikul secara salah sehingga terasa begitu berat. Kita sering mencari sandaran yang salah. Tak jarang justru kita menemukan sandaran yang rapuh dan mengakibatkan kita sulit untuk keluar dari masalah. Ketika kita merasa sedih, cemas dan galau akibat himpitan masalah, kita tidak sabar menghadapinya. Kita sering sulit merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita.
Sejenak kita renungkan kata-kata yang pernah ditulis oleh temanku berikut ini.
“SABAR itu ILMU TINGKAT TINGGI” Belajarnya setiap hari, latihannya setiap saat, ujiannya sering mendadak dan sekolahnya seumur hidup. Dan kutambahkan dengan kalimat ini: “Sertakan Tuhan dalam setiap proses belajar, latihan, ujian maupun sekolah agar kita bisa lulus dengan cemerlang.”
Temanku yang lain pernah menulis seperti berikut ini dan kembali kukutip kata-katanya:
Payung tidak bisa menghentikan hujan bahkan gerimis sekalipun. Payung juga tidak bisa menghentikan matahari bersinar menghangatkan bumi. Tetapi payung bisa membuat kita bisa berjalan di tengah derasnya hujan atau di tengah teriknya matahari. Begitupun dengan kesabaran itu. Kesabaran tidak serta-merta bisa menghentikan datangnya masalah kecil maupun besar. Tapi  kesabaran yang berlandaskan pada sikap pasrah dan bersandar pada Tuhan bisa membuat kita kuat berjalan ditengah badai masalah, bahkan kita bisa menang dalam menghadapi masalah apapun.
“Sediakan payung sebelum hujan,” dan  ingat untuk menggunakan payung saat gerimis maupun saat terik matahari. “Belajar sabar menghadapi masalah.” Dan ingat selalu untuk mengandalkan Tuhan sebagai sandaran yang kokoh dan penopang dalam hidup kita.

Akhir kata aku mulai bertanya-tanya, “Berapa kira-kira pendapatan setiap orang yang menawarkan jasa ojek payung di sekitar Candi Borobudur?” J

Pinenek, 22 April 2014
Ambro Julian Montolalu