Perjalanan pagi ini menuju perumahan Plamongan Indah di ujung kota Semarang, tempat kakak pertama saya tinggal, terasa sangat melelahkan. Betapa tidak, suhu di Semarang pagi ini bukan main panasnya, 42 derajat celsius.
Motor tua kesayangan saya, saya pacu dengan kecepatan di atas rata-rata dengan harapan segera sampai di target tujuan saya. Segera sampai berarti segera terhindar dari rasa panas yang menyengat dan segera mendapatkan segelas air dingin yang melegakan tenggorokan.
Namun apa daya, jalanan pagi ini cukup ramai. Nampaknya bukan hanya saya saja yang ingin segera sampai di tujuan, beberapa orang terasa berlomba untuk saling mendahului dan mencari celah di antara barisan kendaraan hanya untuk berada di tempat yang terdepan.
Saat berhenti di perempatan lampu merah yang kesekian dari kos saya, saya mendengar suara sirine polisi dari arah belakang. "Wah, ada pejabat yang menang-menangan mau lewat nih sehingga semua orang dipaksa memberi jalan," pikir saya. Tak berapa lama, nampak motor polisi mengawal ambulans dan serombongan mobil pengiring jenasah. Oh, ada lelayu nampaknya, saya memakluminya.
Melihat lampu merah akan segera berganti hijau, saya mengambil ancang-ancang untuk segera melaju dan tentu saja dengan memperlambat kecepatan sehingga tetap berada di belakang iring-iringan tersebut.
Baru jalan beberapa puluh meter, saya melihat rombongan iring-iringan ambulans tersebut berhenti dan membuat garis lurus, sepertinya mereka mengatur ulang susunan iring-iringan mobil di belakang ambulans. Beberapa kendaraan tak sabar menunggu di belakang rombongan tersebut sehingga mengambil sisi sebelah kanan untuk menyalib. Satu dua detik saya berpikir dan kemudian memutuskan untuk mengikuti jejak beberapa kendaraan itu. Yah, untuk menghindari kemacetan.
Semenit kemudian saya mendengar suara sirine kembali mendekat. "Aduh, bisa terjebak lagi di belakang rombongan itu deh," batin saya. Alhasil saya tancap gas, untuk menghindar dari kemacetan, seakan-akan saya sedang berlomba dengan suara sirine tersebut. Semakin keras suara sirine terdengar, semakin saya menambah kecepatan. Semakin melemah suara sirine semakin tenang saya.
Dan ketika suara itu tidak lagi terdengar, saya merasa puas dan menang. Astaga, saya tersentak, apa yang saya lakukan ini? Sebenarnya saya menang atas apa? Bukankah saya justru menjadi pribadi yang kalah? Pribadi yang tidak sabaran dan mementingkan diri saya sendiri? Seorang yang ingin serba cepat dan segera sampai di tujuan? Seorang yang tidak mau mengalah dan memberi ruang empati pada sekelompok orang yang berduka?
Refleks, saya kendurkan tangan kanan saya mengurangi kecepatan motor saya. Hati dan pikiran saya melakukan kontemplasi ringan di sepanjang perjalanan. Rasanya bukan pagi ini saja saya menemukan diri saya sebagai pribadi yang tidak sabaran, yang ingin serba cepat dalam mencapai tujuan.
Saya teringat ucapan koster kantor kami yang mengatakan kalau saya ini suka "Sak deg sak nyet" ketika menyuruh dia melakukan sesuatu. Meminta sesuatu untuk dilakukan seketika itu juga, tidak pakai lama dan sesegera mungkin. Dengan kata lain, saya tidak sabar dan tidak memberi ruang bagi fleksibilitas dan kompromi dengan melihat situasi, kepentingan dan perasaan orang lain.
Oh Tuhan, betapa sering saya mengecewakan-Mu dalam hal kesabaran. Ketika membawa motor di jalan saya tidak sabar. Ketika menyuruh seseorang melakukan sesuatu saya tidak sabar menunggu. Ketika saya antri di bank atau tempat publik lainnya, saya ingin segera dilayani. Ketika melihat ada orang lain mengambil tempat dan hak yang seharusnya menjadi bagian saya, saya begitu cepat menjadi emosi dan merasa diperlakukan tidak adil. Bahkan ketika berdoa dan Kau tidak menjawab dengan cepat dan tepat, saya begitu mudah menjadi kecewa dan mendiskreditkan PribadiMu yang penuh Kasih dan Setia.
Menjadi sabar dalam hidup ini ternyata tidak mudah. Orientasi pada hasil dan keinginan untuk menjadi yang terdahulu dan menjadi pihak yang dihargai serta diutamakan membuat hati tidak memiliki cukup ruang untuk mengolah kesabaran.
Sebenarnya jika kesabaran mendapatkan porsi dan tempat yang selayaknya dalam setiap fase perjalanan kehidupan, bukankah hidup ini terasa lebih nyaman untuk dijalani. Manusia tidak akan merasa diburu, dikejar bahkan diintimidasi oleh waktu dan keadaan. Ketidaksabaran tidak akan pernah menambah jumlah waktu yang signifikan. Ketidaksabaran saya ketika di jalan pagi ini paling hanya menambah sekian detik lebih cepat saja. Namun malah membuat motor saya menjadi kurang awet karena dipaksa melaju dengan kecepatan tidak stabil.
Sebaliknya, kesabaran memang nampaknya membuat waktu sedikit hilang atau berkurang, namun justru menciptakan moment yang tidak sebanding dengan waktu yang terbuang. Bukankah kesabaran menciptakan moment berharga bagi diri sendiri, orang lain dan Tuhan?
Moment untuk memberikan apresiasi bagi diri sendiri dan memberikan kesempatan bagi diri sendiri untuk bertumbuh?
Moment untuk menilik, menghargai, memperhatikan, berempati dan bahkan berbagi dengan orang lain? Orang yang berkendara terlalu cepat di pegunungan, pastilah tidak dapat menikmati pemandangan di kanan kirinya dan tidak dapat melihat bahwa ada seseorang yang menadahkan tangan di sisi jalan.
Moment untuk menikmati proses yang sedang Tuhan kerjakan atas hidup kita. Ketika Tuhan belum menjawab, kita masih dapat bersyukur dan mempercayai janji setiaNya. Dan bila tiba waktunya bagi jawaban doa kita, kita dapat dengan sukacita mengatakan "Semua indah pada waktu-Nya." Seorang yang tidak bersabar tidak berkesempatan melalui fase-fase ini.
Tuhan tolong saya untuk tidak menjadi pribadi yang "Sak deg sak nyet". Ajar saya untuk menikmati dan mencintai proses kehidupan yang Tuhan ijinkan untuk saya alami.
"Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu." (Galatia 5:22-23)
Sompok Lama, 3 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar