Selasa, 04 Maret 2014

Ranting Coklat Sederhana

Pohon cemara dari plastik sudah tertata cantik di salah sudut kantor kami. Beberapa hiasan, kertas warna warni dan lampu kerlap kerlip telah tersusun rapi dan menarik di pohon itu.

Hmmm.... tak terasa sudah memasuki bulan Desember, bulan yang ditunggu dengan kegembiraan oleh mayoritas umat Kristiani. 

Entah ini musim Natal ke berapa yang pernah kuikuti. Hitung saja jika saya telah diajak ke gereja oleh ibu saya saat berumur 4 tahun, maka setidaknya sudah 28 tahun saya melewati musim "jingle bells dan Santa Claus" ini. 

Saat pandangan mata saya tertuju pada pohon Natal nan cantik itu, sudut mata kiri saya menangkap pemandangan yang lain. Di luar, di halaman kantor kami teronggok beberapa batang dan carang pohon mangga yang barusan ditebang. daun-daun hijau segarnya sudah berubah warna coklat, demikian pula nampaknya batang dan carangnya mulai mengering. Sangat kontras dengan pohon natal yang hijau (meski imitasi) dengan berbagai hiasan dan lampu kerlap-kerlipnya.

Sontak hati saya tergelitik untuk berefleksi sejenak. Demikian pula yang acapkali terjadi pada bulan "sukacita" macam sekarang ini. Gereja-gereja mulai terlihat dan terdengar hiruk pikuk menyiapkan segala sesuatu menyambut perayaan Natal. 

Beberapa hari yang lalu seorang kawan bercerita betapa untuk serangkaian kegiatan menyambut dan merayakan Natal, pengurus dan aktivis gerejanya tak sungkan dan tak ragu untuk menyiapkan budget puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Hmm... angka yang sangat fantastis menurut saya, yang mungkin sukar bahkan mustahil ditemui di bulan-bulan lain yang seharusnya tak kalah "sukacita"nya. Saya mencoba bertanya alasan di balik sikap yang gereja tersebut lakukan, dan teman saya hanya mengangkat bahu dan geleng kepala, sambil tak lupa menyunggingkan senyum. Mungkin maknanya adalah tidak tahu, tidak mau tahu atau sudah hilang harapan, entahlah.

Teman saya melanjutkan ceritanya. Untuk mempersiapkan sebuah acara perayaan Natal di malam tanggal 25 Desember, gereja tersebut telah menyewa satu band artis rohani terkenal lengkap dengan para penyanyi, choir, dan dancer nya untuk memeriahkan acara. Dan gereja tersebut hanya perlu duduk tenang selama acara berlangsung. Waduh, tambah ngenes  dan miris hati saya ini mendengarnya. Sebegitu mewah dan amazing (meminjam istilah mas Thukul) nya kah seharusnya perayaan kelahiran bayi Kristus.

Dan saya yakin, bukan hanya satu gereja itu saja yang merayakan peristiwa Natal dengan gegap gempita, masih banyak gereja yang serupa. 

Sepertinya terlihat kontras dengan kisah awal kelahiran sang Juruselamat di dunia ini. Sekontras pohon natal dan sekumpulan batang dan ranting pohon yang mengering di halaman kantor. Rasa-rasanya setiap tahun kisah Kristus yang lahir dari seorang perawan Maria dengan Yusuf yang adalah tukang kayu di kandang domba di sebuah kota kecil Betlehem, senantiasa diceritakan berulang hingga pastilah penganut Kristen mengenal cerita itu bahkan hafal di luar kepala.

Kristus memilih lahir di tengah keluarga sederhana, keluarga seorang tukang kayu, yang pastinya secara sosial dan finansial tidaklah masuk perhitungan khalayak ramai. Ia bisa saja lahir di tengah-tengah lingkungan kerajaan dan langsung menyandang predikat seorang raja. Namun tidak dilakukanNya, ia memilih kesederhanaan sebagai jalan lahirnya. Tentu bukanlah tanpa suatu makna. 

Ia lahir di kandang domba yang tentulah jauh kiranya dari kata layak, terlebih istimewa. Tempat yang "terpaksa" dipilih Yusuf dan Maria karena ketiadaan tempat di penginapan dan tentulah juga tempat  yang "terpaksa" dipilih pemilik penginapan untuk mempersiapkan kelahiran sang bayi. Tempat yang jauh dari kesan mulia, dipilih oleh Pemilik Alam Semesta sebagai jalan karya penyelamatanNya. 

Yesus pun lahir di kota kecil Betlehem, bukan di kota pusat pemerintahan, Yerusalem. Ia bisa saja memilih lahir di kota-kota kenamaan, namun ia memilih kota yang kecil untuk memulai karyaNya yang teramat besar dan agung. 

Jika Yesus yang adalah Raja yang kelahiran-Nya diperingati setiap tahun memilih kesederhanaan sebagai jalan hidup dan penyelamatanNya, mengapa manusia memilih kemewahan dan hingar bingar untuk menyambutNya.

Angan saya mendadak hanyut dalam pengandai-andaian. Saya bayangkan diri saya berada pada suatu pesta yang ramai dan meriah, saya mengenakan pakaian terbaik saya yang saya beli dengan harga mahal khusus untuk acara tersebut, saya berdandan secantik mungkin yang mungkin menghabiskan ratusan ribu di Salon, dan saya membawa sebuah kado cantik yang saya beli dari luar negeri atau toko online dengan harga yang tidak membumi. Saya menemui banyak kawan yang bersikap seperti saya. Penuh dengan kemeriahan dan kemewahan. Tak lain dan tak bukan untuk menghormati seseorang yang kami agungkan. Namun sayang di pesta itu tak saya temukan orang tersebut. Yang saya temui adalah berbagai macam orang dengan berbagai motivasi datang ke pesta tersebut. Saya mencoba mencari di setiap sudut rumah, namun tetap tidak saya dapati. Dan tiba-tiba supir saya masuk ke ruangan dan berbisik kepada saya, bahwa orang yang saya cari, yang kami rayakan dengan hingar bingar pesta tidak berada di situ namun berada di sudut jalan bersama dengan orang-orang terpinggirkan. Saya bergegas keluar ke arah yang disebutkan supir saya, dan benarlah demikian. Saya melihat orang yang saya agungkan berpakaian sederhana, jauh lebih sederhana dari apa yang saya kenakan, sedang bercengkrama dan tertawa lepas dengan orang-orang yang kami sisihkan, yang kami anggap bukan apa-apa dan siapa-siapa, sedang menari lepas dengan anak-anak yang tak memiliki orang tua, dengan mereka yang meminta-minta, dengan mereka yang tak pernah bisa berpikir lebih jauh dari apa yang bisa mereka lakukan untuk mendapat makan hari itu saja. Dan saya dapati kaki saya bergetar hebat, kado yang saya pegang erat terlepas jatuh ke bawah, dan saya tak kuat lagi menahan tubuh dan tangis saya. Saya merasa malu berhadapan dengan Sosok yang sangat sederhana dan bersahaja itu. Lantas apa lagi yang musti saya haturkan padaNya selain kesederhanaan dan kesahajaan pula?

Hujan mengguyur dengan deras. Di dalam ruangan kantor, pohon natal masih kokoh berdiri bergemerlapan, sementara batang dan ranting pohon mangga yang telah tertebang itu nampak semakin lusuh dan suram. Mata dan hati saya memandang dua hal yang sangat kontras.

Tuhan, ijinkan saya memberikan makna yang berbeda pada NatalMu kali ini dan di waktu-waktu mendatang. Jika Engkau lahir dengan sederhana, mengapa saya tidak meneladanmu? Jika Engkau memilih berada bersama mereka yang terpinggirkan mengapa saya memilih berada di pusat? Jika Engkau menari lepas dengan mereka yang membutuhkan mengapa saya memilih berjalan di hingar bingar keduniawian dengan kepongahan? Jika Engkau memilih berada di zona tidak nyaman untuk memberikan rasa nyaman bagi mereka yang tersisihkan, mengapa saya memilih berada di zona nyaman bagi rasa aman saya semata? Maka ampunilah saya dan kiranya kau temukan saya, hidup dan hati saya sebagai pribadi, hidup dan hati yang sederhana untuk kau tinggali dan kau pakai. 

Niatan saya untuk menghias kantor dan kos saya dengan dekorasi Natal yang meriah dan berwarna nampaknya harus saya ubah. Besok pagi saya akan gunakan ranting di luar itu sebagai pohon natal dan pohon harapan saya. Bukankah sebuah refleksi senantiasa menghadirkan pembelajaran dan kreativitas? Aha........



Sompok Lama, 3 Desember 2013















Tidak ada komentar:

Posting Komentar