Selasa, 17 Juni 2014

Kebahagiaan dalam Segelas Air Putih

Kantor kami bisa dikatakan tak pernah sepi dari tamu. Senantiasa ada tamu yang datang entah tamu kenalan kami atau tamu asing yang belum kami kenal.

Pagi ini, seorang pria setengah baya datang. Saya belum mengenal laki-laki ini, namun beberapa kawan saya mengenalnya sebagai seorang koster (pengurus rumah tangga) salah satu gereja denominasi kami (Mennonite) di Semarang. Agaknya dia membawa pesan untuk menyerahkan persembahan dari gerejanya kepada Sinode kami.

Beliau menunggu lama karena bagian keuangan kami harus membuka beberapa amplop persembahan berisi uang dengan nominal berbeda-beda dan mencatatnya dalam lembaran Tanda Terima untuk dapat kembali diberikan kepada si Bapak.

Cukup lama si Bapak menunggu dan saya amati agak gelisah. Mungkin karena tidak ada sesuatu yang dia kerjakan selama menunggu Tanda Terima jadi.

Hati saya tergelitik untuk mengambil segelas air mineral dan memberikannya kepada si Bapak. Ketika saya mempersilahkannya untuk minum, sedikit terlihat senyum di bibirnya (yang cukup tertutup dengan kumisnya yang tebal hehehe) sembari mengucapkan terima kasih kepada saya. Ada sebuah perasaan lega yang terbang yang saya rasakan.

Saya ingat di bulan April tahun ini (2014), saya membonceng Jupri (koster kami di Sinode) mengantar surat ke 6 gereja kami di wilayah Semarang. Saya sangat excited karena ada beberapa gereja yang belum pernah saya kunjungi. Jadi meski udara terik, saya sangat bersemangat.

Setelah tiga gereja kami kunjungi, rasa haus mulai tak tertahan karena matahari semakin terik. Di gereja keempat saya berharap ada yang menawarkan minum kepada kami. Namun meski sempat terjadi obrolan sebentar, bukan hanya sekedar menyerahkan surat, tak jua ada tawaran minum. Saya tidak menyalahkan mereka, mungkin mereka tengah sibuk dengan pekerjaan rutin dan terbiasa dengan tamu yang datang dan pergi. Akhirnya dalam perjalanan selanjutnya, saya tidak dapat menahan diri untuk mampir ke sebuah toko membeli minuman.

Pengalaman tersebut membuat saya semakin menghargai keberadaan tamu, entah saya kenal atau tidak. Mungkin saja si Bapak yang datang bertamu ini memang merasa haus dan berharap hal yang sama yang dulu pernah saya rasakan. Mungkin Kantor kami bukan satu-satunya tujuan tugas luar-nya. Menempatkan diri saya di posisinya membuat saya dengan sukacita memberikan segelas air putih (andai ada makanan pendamping juga akan saya tawarkan).

Si Bapak masih menunggu di depan meja Staf Keuangan kami ketika saya beranjak ke toilet untuk pipis. And you know what? Perasaan aneh kembali terbang ketika saya keluar dari toilet dan melihat si Bapak naik di atas sepeda motornya, sambil mengenakan helm dia berujar, "Terima kasih mbak." Saya semula menebak si Bapak hanya akan tersenyum dan menganggukkan kepala tanda permisi pulang, atau berkata, "Mari mbak." Namun yang terjadi adalah dia mengucapkan rasa terima kasihnya.

Secara logika kamilah yang seharusnya mengucapkan terima kasih karena dia sudah mengantarkan uang persembahan gereja kepada Sinode kami. Maka kesimpulan saya (semoga memang demikian adanya), dia berterima kasih atas segelas air yang saya berikan.

Ah rasanya ingin terus mengulang merasakan perasaan aneh yang terbang membumbung ketika melakukan sesuatu bagi orang lain, meski sesuatu yang teramat kecil dan terkesan sepele. Saya yakin Anda mengetahui perasaan aneh itu apa, dan saya yakin Anda pernah merasakannya atau justru sering merasakannya? Apakah Anda setuju dengan saya atau tidak, tapi perasaan aneh ini terasa sebagai candu bagi yang menghendakinya, dan saya memutuskan untuk menginginkannya lagi dan lagi. Bagaimana dengan Anda?



Sompok Lama, di sela waktu berkirim email, 17 Juni 2014












1 komentar:

  1. Good writing.... and good insight...
    Simple things bring big impact

    BalasHapus