Pagi ini kota Semarang terasa sejuk, karena semalam hujan mengguyur kota lumpia ini cukup lebat. Pintu kantor saya buka perlahan, bermaksud menuju kamar mandi. Ya, saya bermalam di Kantor karena ada beberapa tugas yang harus saya kerjakan over time. Saat pintu kantor separuh terbuka, saya saksikan beberapa sayap serangga berserakan di lantai teras. Sesuatu yang beberapa bulan ini tidak pernah saya lihat. Ratusan sayap anai-anai atau laron terserak di sana. Entah kemana para pemiliknya, sebagian mungkin sedang berjalan menyisir menuju tempat persembunyian mereka, dan sebagian lain mungkin sudah mati.
Kata orang, laron hadir sebagai penanda musim penghujan, dan mereka laron hanya hidup semalam saja. Ketika pagi menjelang dan matahari mulai bersinar, mereka akan mati dan meninggalkan berkas sayap-sayap mereka berserakan dimana-mana.
Hmm.....pikiran saya mulai mengembara. November.... ya ini sudah mulai musim penghujan. Meski toh dengan catatan bahwa kita saat ini sepertinya sudah tidak dapat lagi memisahkan dengan persis bulan-bulan penghujan dan bulan-bulan kemarau. Jika dulu ketika ada seorang bule bertanya kepada saya: "How many seasons do you have in Indonesia?" Saya akan dengan sigap berkata, "Two! Dry and Rainy Seasons." Namun sekarang, jika ada yang bertanya tentang musim di Indonesia, saya pasti akan menambahkan jeda...."Ehmmm....." diikuti penjelasan bahwa musim sudah tidak menentu. Satu waktu bisa panasnya setengah mati, namun tiba-tiba keesokan harinya hujan sepanjang hari. Atau yang lebih ekstrim lagi, kita dapat menemui pagi yang cerah dan mentari yang terik namun di siang atau sore hari hujan turun dengan lebatnya.
Angan saya semakin jauh berkelana. Apakah laron-laron ini juga mengalami kebingungan? Mereka telah hidup berkoloni sebagai rayap selama berbulan-bulan yang diasumsikan sebagai musim kemarau. Musim penghujan pastilah satu waktu yang mereka tunggu. Mereka keluar dari sarangnya yang lambat laun menjadi "membosankan" dan dengan bebas mengepakkan sayap di udara bebas untuk mencari pasangan dan membentuk koloni yang baru.
Saya berandai-andai menjadi seekor anai-anai. "Ah mak, tengoklah di luar sana sudah mendung, sebentar lagi akan hujan sepertinya. Berarti sekarang sudah mulai musim penghujan kan mak?" teriak saya pada induk saya sambil mengintip di sela-sela kayu. "Ah baiknya kau jangan lekas senang dulu, kita lihat saja beberapa jam ke depan. Jangan-jangan hujan tak jadi datang." jawabnya.
Dan ternyata memang benar. Hujan urung datang sore itu. Ada rasa kecewa di hatiku. Aku sudah menunggu lama berada di sela-sela kayu yang sudah mulai tidak berbentuk. Bosan rasanya melakukan hal yang sama di tempat yang sama selama waktu yang lama. Hati ini sudah sangat merindu musim penghujan sebesar rinduku untuk melihat dunia luar meski semalam dan mencari pasangan. Ah, mau tak mau harus kutahan mimpi untuk segera terbang.
Entah ini sore keberapa kalinya aku mengintip kembali ke luar. Suasana mendung disertai angin yang cukup kencang. Belum hilang asa dalam hati ini, namun tak sebergelora kemarin-kemarin. Berharap hujan? Itu pasti! Berharap lebih? Itu nanti!
Tapi kali ini alam berpihak padaku. Ahai.....hujan turun sangat deras. Bagiku itu memberi kepastian bahwa musim penghujan akhirnya tiba. Dengan segera kupeluk emak dan mengucapkan perpisahan. Ya....aku harus segera bersiap untuk keluar dari sarang. Seusai hujan reda aku akan mengepakkan sayapku dan mencari pasanganku dan membentuk keluarga yang baru. Tapi bagaimana jika ketika di luar nanti aku tak mendapat pasangan? Aku akan mati di luar dan tidak ada kesempatan kembali ke sarang. Ah itu soal nanti, setidaknya aku telah mencoba. Bukankah momen ini adalah momen yang kutunggu selama ini? Dunia luar bersiaplah.....aku datang.....
Aduh, tak dapat lagi saya menahan panggilan alam ini. Saya bergegas berlari kecil ke kamar mandi, sambil tersenyum dalam hati akan lamunan saya tadi. Saya biarkan kisah anai-anai menjadi misteri yang menceriakan pagi saya kali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar