Kamis, 06 Maret 2014

Lusuh namun bernilai, bercela namun dicinta



(Ambro Julian Montolalu)


Pagi menjelang siang ini, aku sedang mencari sebuah file dalam komputerku sambil memutar lagu-lagu kesayangan milik Ebiet G. Ade. Secara tak sengaja kutemukan foto dimana aku baru selesai mengikuti sebuah seminar di Makassar Golden Hotel beberapa tahun yang lalu. Aku kembali teringat tentang sebuah permainan yang dibuat oleh seorang pembicara pada salah satu sesi acara.

Permainannya seperti ini: Sang pembicara mengeluarkan satu lembar uang pecahan Rp. 50.000,- dari dalam dompetnya lalu bertanya, “Siapa yang ingin uang ini..?” Sontak sebagian besar peserta langsung mengacungkan tangannya, tak terkecuali aku (aku tidak sempat menghitung berapa pemilik tangan kanan dan berapa orang yang memiliki tangan kiri). Memang ada beberapa peserta yang tidak ikut-ikutan mengacungkan tangannya dengan berbagai alasan. Mungkin karena uangnya lebih banyak dari aku. Atau mungkin karena takut ketahuan kalau keteknya bau (xixixixi).

Si pembicara kemudian meremas-remas uang itu hingga lusuh dan beberapa saat kemudian kembali bertanya “Siapa yang mau dengan uang ini..?” Tinggal separuh dari peserta yang masih mengacungkan tangan. Aku ada di antara mereka yang tidak lagi ikut-ikutan karena kupikir ini hanyalah sebuah permainan.

Selanjutnya pembicara itu membuang uang tersebut ke lantai dan sesaat kemudian menginjak-injak uang itu sampai menjadi kotor oleh debu lantai dan telapak sepatunya.
“Masih adakah yang mau dengan uang itu..?” si pembicara bertanya. Hanya ada kira-kira 40
-50 orang peserta yang masih setia mengacungkan tangannya. Terakhir si pembicara bertanya lagi “Siapa yang mau mengambil uang itu..?” Dari ratusan peserta, hanya ada seorang ibu yang tiba-tiba berdiri dan maju ke depan kemudian memungut uang itu. Dan benar, uang itu kemudian menjadi milik si ibu. Sementara peserta lain sangat menyesal setelah mengetahui ternyata seperti itu permainannya.

TUHAN memberi makan burung-burung, tetapi DIA tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang..” Itulah kalimat yang dilontarkan si pembicara untuk menjelaskan apa makna dari permainan dengan uang Rp. 50.000,- tadi. Bahwa Tuhan telah menyediakan rejeki yang baik buat kita asal kita mengusahakannya dengan bekerja keras, menangkap peluang walau pun mungkin kelihatannya pekerjaan atau peluang yang ada di depan kita kadang tidak cocok atau tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kadang Tuhan memberikan kepada kita apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.
Aku setuju dengan ilustrasi dari permainan uang di atas, tetapi siang ini aku coba melihat permainan tersebut dari sudut pandang lain dan aku belajar sesuatu hal berharga dari permainan itu.

Ternyata walaupun oleh si pembicara uang itu diperlakukan sedemikian rupa, tetapi tidak akan mengurangi nilai dari nominal uang tersebut dan tetap berfungsi sebagai mata uang yang sah senilai Rp. 50.000,-. Saat si ibu membelanjakan uang lusuh nan kotor itu ke Supermarket guna membeli sebuah barang seharga Rp. 11.750,- maka sudah pasti kembaliannya adalah 1 lembar pecahan Rp. 20.000,-, 1 lembar pecahan Rp. 10.000,-, 1 lembar pecahan Rp. 5.000,- 1 lembar pecahan Rp. 2.000,- dan 1 koin seribu (maaf, ku paksa Anda menghitung juga hehehe). Dan bisa jadi di antara lembaran-lembaran uang kertas kembalian tadi ada beberapa yang masih baru bahkan mungkin baru tersentuh oleh beberapa tangan saja. Bayangkan saja uang yang sudah lusuh tadi diganti dengan uang yang masih baru. Kemudian yang pintar Matematika bertanya “Kemana yang 250 rupiah..?”  Hehehe.. tenang sobat. Uang sisa itu tidak akan kemana..! Pasti oleh petugas kasir akan diberi 2 butir permen.

Terkadang dalam kehidupan, kita merasa rapuh, kotor, lusuh, terinjak dan tak berguna karena kita pernah melakukan sesuatu yang salah di masa lalu. Kita mungkin sering mengeluh atas ujian hidup yang Tuhan berikan. Kita merasa tak berharga di mata keluarga, kerabat, teman-teman dan lingkungan sekitar kita. Kita merasa tidak berhak untuk sesuatu yang baik di masa kini.

Di pihak lain, sering juga kita melakukan tindakan diskriminatif terhadap orang-orang yang di masa lalunya mungkin telah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji. Kita sering curiga dengan orang-orang ini. Kita sering menjauhi mereka dan menempatkan mereka seperti orang tak berharga. Kita seolah-olah menutup mata terhadap mereka yang ingin berubah menjadi baik. Mereka pada akhirnya mengeluh seperti lagu Ebiet G. Ade berikut ini:

Kalian Dengarkan Keluhanku

Dari pintu ke pintu ku coba tawarkan nama.
Demi terhenti tangis anakku dan keluh ibunya.
Tetapi nampaknya semua mata memandangku curiga.
Seperti hendak telanjangi dan kuliti jiwaku.

Apakah buku diri ini harus selalu hitam pekat.?
Apakah dalam sejarah orang, mesti jadi pahlawan..?
Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum.
Dengan sinar mata-Nya yang lebih tajam dari matahari.

Kemanakah sirnanya nurani embun pagi.
Yang biasanya ramah, kini membakar hati.
Apakah bila terlanjur salah, akan tetap di anggap salah..?
Tak ada waktu lagi benahi diri..?
Tak ada tempat lagi untuk kembali..?

Kembali dari keterasingan ke bumi beradab.
Ternyata lebih menyakitkan dari derita panjang.
Tuhan bimbinglah batin ini agar tak gelap mata.
Dan sampaikanlah rasa inginku kembali bersatu..

Seperti aku yang tak pernah suka dengan diriku di masa lalu, aku pun yakin bahwa seburuk-buruknya perbuatan seseorang di masa lalu, dia pasti tidak menyukainya di kehidupan sekarang.

Tenang saja sobatku. Percayalah bahwa, apa pun yang pernah terjadi di masa lalu kita, kita tetap bernilai di mata Allah. Karena bagi Allah, kotor, lusuh, ternoda dan sebagainya, pasti akan selalu ada pengampunan dari pada-Nya. Momen masa Adven ini semoga kita jadikan kesempatan memperbaiki diri dan mohon pengampunan atas dosa-dosa kita, sehingga nantinya Tuhan Yesus layak lahir dan tinggal dalam hati kita, dan kita semakin bernilai di hadapan Allah.. Amin. 

Renungan menjelang Adven ke-3

Pinenek, 13 Des 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar