Kamis, 06 Maret 2014

Derma Sebelas Ribu

Seorang kawan memberikan sebuah tugas yang unik bagi saya: memberikan derma kepada seseorang sebesar Sebelas Ribu Rupiah.

Unik? Di bagian manakah yang unik? Bukankah memberikan derma kepada orang lain, berapapun nominalnya, bukanlah hal yang luar biasa. Banyak orang melakukannya. Apalagi jumlah yang akan didermakan hanya Sebelas Ribu Rupiah saja. Ah, pastilah itu sebuah perkara yang gampang, semudah menjentikkan jari tangan saja.

Ijinkan saya memaparkan kategori unik yang saya maksudkan, terlebih dahulu. Saya sebut tugas itu unik, pertama karena yang memberikan tugas itu adalah seorang kawan yang baru saya kenal tak genap sebulan. Bayangkanlah Anda bertemu seorang kawan baru di sebuah tempat, kemudian saling bertukar nama dan nomor telepon. Dan beberapa saat kemudian kawan baru tersebut memberikan sebuah tugas pada Anda. Bukankah itu unik? Tak biasa kita jumpai. Saat kerabat atau sahabat dekat kita memberikan satu tugas pada Anda, toh tidak serta merta kita lakukan. Ada banyak pertimbangan untuk melakukannya. Apalagi orang asing yang baru kita kenal. Kemungkinan untuk mengiyakan permintaannya sangatlah tipis, meski bukan mustahil untuk dilakukan.

Kedua, tugas itu menyangkut dengan uang. Nah, bukankah segala sesuatu yang berkaitan dengan uang dapat menjadi sebuah isu yang sensitif? Banyak kita temui kasus kejahatan dikarenakan persoalan uang. Hanya karena uang yang nilainya tak seberapa seseorang dapat menyakiti (fisik maupun non fisik) orang terdekatnya. Pepatah jawa yang mengatakan "Tuna Satak Bathi Sanak" yang kurang lebih berarti "Tak apalah merugi segepok uang asal mendapatkan Saudara" nampaknya semakin sulit dijumpai dalam masyarakat yang bergelut dengan kerasnya kehidupan saat ini. Maka, jika ada seorang kawan baru memberi saya tugas berderma Sebelas Ribu Rupiah dan saya menurutinya, bukankah itu satu hal yang unik?

Sebelum saya menceritakan cara saya melakukan derma tersebut dan kepada siapa saya menghaturkan uang yang tidak berjumlah besar tersebut, ada baiknya saya menjelaskan hal yang menjadi latar belakang saya meluluskan permintaan seorang asing tersebut.

Suatu malam dalam perbincangan kami yang ke sekian kali via telepon, tiba-tiba pembicaraan kami terpotong karena pulsa saya habis. Pembicaraan kami berlanjut setelah sang kawan menelpon balik saya. Keesokan hari saya mendapati sms pemberitahuan bahwa ia mentransfer pulsa senilai Sepuluh Ribu Rupiah kepada saya. Saya sempat tersinggung dengan perlakuannya dan bermaksud mentransfer kembali pulsa tersebut, selepas saya mengisi ulang pulsa saya.

Nah, pastilah Anda sudah dapat menebak apa yang terjadi kemudian. Teman baru saya tersebut meminta saya tidak usah mengeksekusi rencana saya untuk mengirim kembali pulsa padanya. Agar tak ada satu pihak pun yang merasa bersalah dan tidak nyaman, maka muncullah tugas unik yang saya sampaikan di awal. Berderma Sebelas Ribu Rupiah. Mengapa tidak Sepuluh Ribu Rupiah? Karena jika saya membeli pulsa nominal tersebut harganya adalah Sebelas Ribu Rupiah.

Tugas unik tersebut saya iyakan dengan kesungguhan hati. Permintaannya saya luluskan bukan hanya karena berusaha menghargai pertemanan kami yang baru seumur anakan jagung yang mintip-mintip namun juga karena saya melihat ini sebagai kesempatan melatih kemurahan hati.

Sore tadi saya berburu mencari seorang yang tepat untuk menerima derma Sebelas Ribu saya. Mungkin Anda berpikir, mengapa saya terlalu ribet dan berbelit. Bukankah mudah menemukan pengemis, pemulung atau pengamen jalanan sebagai sasaran derma saya di bumi Semarang ini pada khususnya dan di bumi Indonesia ini pada umumnya. Mengutip dialek kawan Batak saya, "Macam uang kau bernilai ratusan juta saja bah!"

Bukan, bukan saya berlagak sebagai seorang dermawan yang punya banyak uang untuk dibagi-bagikan dan melakukan seleksi tertentu. Saya hanya ingin merasakan sesuatu yang berbeda di hati saya. Saya ingin mencari seseorang yang kepadanya hati ini tertuju dan terpaut dengan rasa belas kasihan.

Saya mengendarai motor saya mencoba mencari orang yang "tepat" untuk menerima derma Sebelas Ribu Rupiah saya. Saya sengaja berjalan pelan dengan tujuan untuk melihat sekeliling kalau-kalau target saya menampakkan diri. Sekitar 10 menit perjalanan, tiba-tiba saya teringat seseorang yang sering saya lewati saat saya berangkat kerja. Ia kerap saya lihat bermalam di trotoir jalan di dekat lampu merah tak jauh dari kos saya. "Ah, daripada aku kesulitan mencari target dermaku, lebih baik kuberikan kepada laki-laki itu saja," pikir saya.

Dan sejurus kemudian, saya mencari jalan untuk kembali ke kos saya. Saya mencari jalan pulang yang berbeda. Saya mengambil arah sedikit melingkar karena saya ingin mencari suasana yang berbeda.

Saat hendak melewati pasar, tiba-tiba mata saya tertuju pada seorang laki-laki tua tanpa alas kaki yang berjalan dengan memakai tongkat tinggi. Sekilas saya melihatnya meminta-minta pada salah seorang pemilik warung di bagian depan pasar. Motor saya masih berjalan pelan dan melewati laki-laki tua itu.

Beberapa detik saya ijinkan hati saya menimbang-nimbang untuk memberikan derma kepada siapa. Apakah kepada seorang yang sering saya lihat di dekat Lampu merah atau lelaki tua yang baru saya jumpai ini. Hati ini terasa lebih condong pada lelaki tua yang baru saya jumpai ini. Akhirnya saya mantapkan hati saya. Segera motor saya hentikan. Dan mengingat jalan searah, saya harus memarkir motor di parkiran terdekat dan mencari target sasaran saya dengan berjalan kaki.

Tanpa kesulitan saya segera dapat mengikuti jejak sang Bapak, dan sedikit berjalan cepat saya mencoba lebih mendekat padanya. Di lampu merah ia memilih jalan ke kanan. Saya sigap mengikutinya, dan ketika tinggal 2 meter jarak di antara kami, saya melihat deretan kendaran yang berhenti di garis batas lampu merah menghadap kepada kami. Sesaat saya ragu dan menimbang-nimbang apakah saya akan tetap membuntuti Bapak ini sampai ke tempat yang cukup sepi baru kemudian menyerahkan uang yang tak bernilai banyak ini. Atau saya berikan saat ini pula, dengan risiko akan ada banyak mata yang memandang saya dengan berbagai penilaian mereka. Ah, saya tegur diri saya sendiri. Apa yang saya pikirkan sekarang, kenapa fokus misinya menjadi berubah? Mengapa sekarang saya memikirkan diri saya sendiri dan bukannya si Bapak yang mungkin sedang menanti derma yang masih saya genggam erat ini.

Maka saya putuskan berjalan lebih cepat dan menghentikan langkah si Bapak. Tak banyak kata yang saya ucapkan, "Mbah, ini untuk panjenengan." Dan sesaat saya baru sadar bahwa salah satu matanya buta. Oh, betapa hati saya bertambah berdebar dengan rasa damai dan sukacita. Ia menjawab dengan tersenyum, "Terima kasih, hati-hati di jalan." Ia tak mengucapkan sederet doa yang ditujukan untuk saya seperti yang biasanya disampaikan kebanyakan peminta-minta seusai kita memberikan beberapa koin rupiah. Saya tahu ia tulus berpesan demikian pada saya.

Ah...usai sudah tugas ini saya laksanakan. Dengan hati dan langkah yang ringan saya kembali menuju tempat parkir sepeda motor. Saya tidak memusingkan diri dengan apa yang mungkin dipikirkan oleh orang-orang yang melihat apa yang telah saya lakukan, apakah mereka memuji, mencibir atau tidak peduli. Yang terpenting hati saya lega dan damai karena tugas dari seorang kawan telah saya tuntaskan. Dan juga tugas dari diri saya sendiri. Teman saya memberikan tugas berderma Sebelas Ribu Rupiah dan diri saya memberikan tugas untuk melipatgandakan derma tersebut. Dan rasa damai ini nilainya jauh berlipat-lipat dibanding derma yang saya dan teman saya berikan.

Saya hampiri motor saya, dan bergegas untuk segera pulang karena gerimis sudah mulai turun. Sempat terpikir tentang sang Bapak, apakah ia menemukan tempat berteduh jika hujan tiba nanti, atau apakah ia bisa bermalam di rumah, bahkan apakah ia memiliki rumah yang layak baginya? Ah...mengapa saya mesti berpikir lebih jauh yang daripada saya pikirkan. Tentulah Tuhan dalam segala rahmat dan keadilannya akan memelihara Bapak tua tadi dan menggerakkan orang-orang untuk berderma baginya, seberapa dan apapun bentuknya.

Seiring gerimis yang semakin banyak turun, saya mempercayai berkat Tuhan pastilah lebih banyak dari itu. Seberapapun yang kita berikan untuk orang lain dalam ketulusan tak akan pernah mengurangi berkat Tuhan dalam hidup kita. Bisik saya dalam hati, "Maka Tuhan, tetaplah gerakkan hati saya untuk memberi kepada sesama, seberapapun yang saya miliki."


Sompok Lama, akhir November 2013
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar